Jumat, 19 Desember 2014

Hello and Goodbye

Aku menemukannya di suatu keramaian kota, di salah satu sudut pertokoan yang berdesak-desakkan, pada suatu malam. Seandainya aku tak menuruti Julie, sepupuku dari London ini, untuk berlibur ke Indonesia, aku tak akan menjadi pesakitan seperti ini. Rengekan seorang cewek memang membius, hingga mamaku memaksaku untuk menemani Julie ke  sebuah kampung yang jauh dari kota, dalam Daerah Istimewa Yogyakarta, rumah kakek kami. Kalau saja aku mampu menolak, aku sudah berlibur ke Perancis bersama teman-teman sekampusku, aku tak kan sampai ke tempat ini, dan aku tak kan bertemu dengannya.
         ***
Lepas magrib ini, Julie mengajakku ke balai desa. Kebetulan sedang berlangsung acara taunan di desa ini, semacam bersih desa, jadi berbagai pementasan di pertontonkan, sebagai hiburan, hingga larut malam.
Entah apa yang membuat Julie begitu antusias dengan panggung sempit ini, menurutku itu sudah biasa, maksudku, aku sudah bosan dengan acara bersih desa, sejak kecil kakek mengajakku bergadang hanya untuk melihat acara ini. Sebenarnya aku ingin beristirahat setelah perjalanan udara dari London tadi. Tapi, lelaki macam apa membiarkan perempuan berjalan malam-malam sendirian.
Plak! Ahh nyamuk - nyamuk mulai menyerbu. Aku baru menyadari, tak pernah kutemukan nyamuk seganas ini di London.
"ayolah, Julie. Kau mau di sini sampai kapan?", keluhku. Julie asik dengan cameranya.
"sampai selesai.", jawabnya enteng.
"kalau begitu aku pulang saja dulu. "
" kau pulang saja. Tidak masalah. "
Hhh.. Tidak berhasil membujuknya. Mana mungkin aku benar-benar meninggalkannya.
" hei, Julie. Di sini banyak copet. Ayo cepat pulang. ", bujukku lagi.
" aku tidak membawa uang dan handphone-ku"
"tapi cameramu... "
" tidak mungkin hilang, Farrell.", jawabnya santai, bahkan tanpa menoleh padaku.
Aku melangkah ke sudut yang agak sepi penonton dan memilih duduk bersandar di padepokan.
Semilir angin mengusap-usap ubun-ubunku. Beberapa detik lagi aku pasti sudah dihanyut kantuk, kalau saja mataku tak menangkap sosok itu. Sosok yang samar-samar, lalu semakin lama semakin terang dan jelas. Ia memakai jarik batik yang dililit di dadanya hingga ke lutut dirangkap kebaya emas yang terawang, rambutnya disanggul tinggi, seuntai selendang kuning mengalung di lehernya. Aku mengucek-ucek mataku, berusaha mengenali sosok di depanku ini. Sampai ia melambaikan tangan dan aku sadar pun, belum kutemukan jawabannya.
"Farrel, kan?", aku mengangguk ragu sambil mengingat-ngingat siapa perempuan ini. Ia mengulurkan tangan, masih dengan senyumnya. Aku membalas jabatannya, dan masih dengan keraguanku.
" Apa kabar?", tanyanya, lalu duduk di sebelahku. Memandang keramaian di sekitar panggung.
" aku..  Baik. "
"  Dua tahun tak pulang benar-benar membuatmu lupa padaku ya? ", tanyanya sambil terkekeh. Aku masih diam. Apa ia...
" Jelas saja, di Inggris banyak perempuan cantik, to?"
Aku mencondongkan badanku ke arahnya, " Kamu Dilah?? Fadilah Rumanti??"
Ia menatapku seraya tersenyum, detik berikutnya ia mengangguk.
Aku terkesiap dan lidahku kaku. Gadis ini..
" Aku siap-siap dulu. Sudah mau mulai", ia berdiri dan berjalan ke arah panggung tanpa menoleh lagi.
"Farrel! Ke mana saja? Aku pikir kau sudah pulang. Malah di sini. Ayo pulang."
" Aku akan menemanimu sampai selesai acara", kataku pada Julie, dan ia kutinggalkan di belakang. Sempat kudengar ia menggerutu, " Dasar plin-plan! Aku akan pulang duluan! "
***
Pukul 10 malam, namun suasana semakin ramai. Riuh tepuk tangan penonton menggema seusai ia, gadis itu, melenggakkan gerakkan terakhirnya. Tak terkecuali aku. Lalu ia menuruni panggung, sementara mataku mengekor dan kakiku melangkah ke arahnya. Jantungku mulai berdegup tak menentu seiring dengan jarakku padanya yang semakin dekat. Kulihat ia sedang bercengkrama dengan lelaki tinggi, berkumis dan.. Tua. Kuperkirakan usianya 30 tahun.
Setelah mengangguk beberapa kali ke lelaki itu, ia berbalik dan sedikit terkejut mendapatiku berdiri beberapa meter di belakangnya. Lantas ia tersenyum dan berjalan mendekat.
" Masih belum pulang, Far? "
Aku tersenyum dan menggeleng," bisa kita ngobrol sebentar?", tanyaku yang tak pandai basa-basi.
"Tapi sudah malam.", jawabnya.
" Nanti kuantar kau pulang. "
" Baiklah. Kita ke sana saja. ", katanya sambil menunjuk tempat kita bertemu tadi.
Ia duduk tepat di sampingku. Satu menit pertama hanya diam yang ada, sebelum kutanya" apa kabarmu, Dilah? "
" Aku baik. ", jawabnya singkat.
" Kalau boleh tau, siapa laki-laki yang tadi? "
" Oh.. Namanya Ghofar. Kami menikah lima bulan yang lalu. "
MENIKAH?? Jantungku kembali tak menentu, namun kali ini seperti akan berhenti. Nafasku menjadi berat dan tempat ini serasa menyempit.
" apa aku tak salah dengar? ", tanyaku, berrharap ia hanya bercanda.
" apa aku akan bercanda untuk mengatakan hal seserius itu? "
Ahh.. Dan ia langsung mematahkan harapanku barusan.
Bagaimana bisa ia melakukannya? Kenapa cepat sekali? Ia bilang ia ingin menjadi penulis dulu, baru ia akan menikah. Yah.. Setidaknya itu yang ia katankan padaku saat kami kelas tiga SMA. Dan.. Ia juga pernah bilang kalau ia... Menyayangiku. Tapi.. Kenapa...
Hhh.. Ini terlalu tiba-tiba untukku, terlalu menyesakkan dan... Sakit.
" Ceritanya panjang, Farrel. Setaun yang lalu ibu sakit keras, dan kami tidak punya biaya... "
" Lalu datang seorang kaya raya dan akan membantumu asalkan kau menikah dengannya?? ", potongku, tak sabaran.
" Tepat sekali. "
" Apa?? Yang benar saja, Dilah. Alasan yang klise.", aku membuang pandangan, karena kedekatan ini sudah berubah menyakitkan.
"tapi memang begitu keadaannya, Farrel. Lagi pula, kenapa kamu marah-marah?"
" Oh. Baiklah, aku memang tak punya hak untuk marah. "jawabku ketus. Ia diam. Kami diam. Lalu sepi menguasai kami. Selama beberapa menit hanya dengungan nyamuk yang kudengar.
" Salahmu sendiri, kenapa tak meninggalkan nomor telepon atau email?aku tidak mau menunggu tanpa kepastian, dan situasi di rumah sedang kepepet waktu dulu itu", katanya tiba-tiba, memecah sunyi.
"aku ingin mengatakan sesuatu padamu saat aku akan berangkat ke banndara dulu. Kau malah tidak ada di rumah.", ia diam lagi, lalu menunduk. Memainkan selendang di jemarinya.
"aku takut melihatmu pergi. ", jawabnya, masih sambil menunduk, dan itu semakin dalam.
Pundaknya naik turun tak beraturan, seiring dengan nafasnya yang mulai memburu.
Dan ia meneteskan air mata.
Aku merapatkan dudukku dengannya, melingkarkan lenganku pada bahunya, berharap dekapku melelehkan hatinya yang sedang kaku, demi mengingat masa lalu. Biarlah, biarlah pundakku saja baginya sekarang.
Fadilah, gadis yang sejak kecil menjadi teman mainku, yang selalu aku ingin lindungi, yang sejak aku SMP wajahnya selalu terbawa mimpi, yang sejak SMA mengaku menautkan hatinya padaku, yang sejak dua tahun aku meninggalkannya ke London tanpa salam perpisahan, kini seperti tak kan tergapai lagi. Raganya sudah dalam genggaman lelaki lain.
" Dilah? "
Ia tak menjawab, masih sesenggukan.
"  Apa kau mencintai Ghofar? "
Ia menggeleng cepat. Tak terasa senyumku terkembang sedikit. Tapi.. Aku bisa apa lagi? Kuliah saja belum dua tahun. Hmm.
" Bagaimana kabar ibumu? Apa ia sudah sehat? "
Ia mengangguk lagi.
Lengannya melingkar di pinggangku. Dan ia menangis kembali.
Dilah, kau pikir aku tak ingin menangis? aku belum menaruh hati pada lainnya, Dilah. Kau tenang saja.
Tapi bagaimana caraku agar bisa bersamanya? Sementara ia sudah bersuami. Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh.
" Nanti kutinggalkan nomor teleponku. Apa kau sudah dibelikan handphone oleh Ghofar?"
Ia mengangguk lagi.
" Baguslah. Kalau begitu ayo kuantar pulang. "
Lambat-lambat ia bangkit dan melepas pelukannya.
" Terimakasih telah datang,  Farrel. Maaf.  Maaf aku tak bisa menunggu lama. "
" bukan salahmu. Ayo"
Sepanjang perjalanan kami diam. Hanya genggam yang semakin lama semakin erat.
Aku tak sanggup menanyakan bagaimana kelanjutan kami nanti. Aku tak sanggup melihatnya menangis lagi.
"masuklah,  segera Istirahat. ", kataku ketika sampai di depan rumahnya.
Ia mengangguk pelan. Aku tersenyum. Ia berbalik dan melangkah pelan. Begitupun aku.
***
Pagi-pagi sekali aku membuka gembok rumah kakekku. Aku akan ke rumah Dilah dan mengajaknya ngobrol lagi. Aku ingin menjelaskan semuanya, sebelum semua terlambat. Aku sudah berkesempatan bertemu dengannya lagi dan tak mau menyia-nyiakan. Lagipula, aku  sudah berjanji akan memberinya nomor telepon.
Setibanya di depan pintu rumahnya, aku mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang perwmphan yang sangat kukenali keluar, " Ya Allah,  Farrel tho ini? Mari masuk dulu."
" iya, Bu. Terimakasih. Saya mau bertemu Dilah"
" Loh? Semalam dia sama kamu, tho? "
Aku mengangguk dan mengiyakan.
" loh, ibu pikir sudah cerita."
Aku semakin tak mengerti, " cerita apa, ya, Bu?"
" Dilah ikut Ghofar, suaminya, ke Jakarta. Dini hari tadi berangkat, ada proyek perusahaan katanya. "
DEG!
Dunia seperti berhenti berputar. Aku bagai magnet yang menarik segala kesedihan, sesak merapat mendekap hati dan badan. Segera aku berpamitan pada ibu Dilah. Perasaanku tak karuan, pikiranku entah di mana dan jiwaku terasa hilang.
Langkahku gontai. Aku berjalan tanpa tujuan. Pulang pun aku enggan. Dan aku melangkah ke suatu tempat, padepokan.



Rabu, 12 November 2014

Hujan

Telah lewat lagi satu purnama. Sebentar lagi genap lima bulan kita tak kunjung bertukar senyum, melainkan bertukar pesan dan mengandalkan jaringan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhir tahun selalu dimensions oleh hujan sepanjang hari. Tak peduli apakah kita baru saja menutup hari, atau bahkan baru akan memulai hari. Aku pikir, kenangan-kenangan yang kata orang muncul setiap hujan,  hanyalah berlebihan. Maksudku, yah.. Bukan hanya saat hujan saja kan kita pernah lalui waktu bersama? Di bawah terik raja siang pun kita pernah. Ah.. Hujan. Entah siapa yang memulai, menjadikan hujan sebagai alat untuk bernostalgia.
Malam ini pun begitu. Hujan memaksaku menutup jendela kamar lebih awal dari biasanya. Kurasakan rintiknya yang dingin pada punggung tanganku,  sebelum kutarik tanganku sambil merapatkan jendela. Dan air langit pun tumpah ruah.
Segalanya menjadi dingin, pun kasur dan selimutku tak manyisakan hangat. Memanglah, hanya dekap yang menghangatkan, jiwa dan hati.
Jadi.. Apa kau sudah lelap?

" Belum. Di sini hujan sedang turun malu-malu. Bagaimana langitmu? "
Langitku sedang menumpahkan segala kesedihannya. Hujan lebat.
Lalu kau terkekeh. Lalu diam beberapa detik. Sebelum kudengar tarikan nafasmu. Aku menunggumu bicara." Sudah mulai hujan setiap hari, ya. "
Yah.. Setiap hari.
" aku senang saat hari hujan, karena aku bisa mengunjungi kenangan. ", tuturmu.
Aku diam, menunggu kelanjutanmu.
" kau mau ikut?"
Baiklah..
"ketika hujan, aku suka mengingat masa-masa SMA.  Ketika hujan tiba lebih awal dari matahari, aku sedikit malas mengayuh sepedaku ke sekolah. Truk-truk menjadi monster menyebalkan saat melintasi kubangan air coklat. "
Aku tersenyum. Ya, kau, sepeda dan jaket hitammu bersatu menantang  hujan. Aku pernah mengamatimu, sepertinya kau menikmati rintik tajam yang terjun bebas ke wajah putihmu itu.
" aku ingat, saat gerimis pagi-pagi dan aku baru saja sampai halaman sekolah, aku merasa seseorang mengikutiku. Dan benar saja, ia mengikutiku sampai masuk kelas. Ternyata itu kau, perempuan. "
Hei, aku tidak mengikutimu. Memanglah kita ada di kelas yang sama saat itu.
" Dan yang tak pernah ktinggalan, ialah kenangan tentangmu. "
Aku tersenyum lagi, Membiarkan celotehmu mengisi telingaku. Tiba-tiba semakin dingin.
" sore itu, hujan menjaga kita. Menjaga agar tinggal sebentar untuk berdua. Kau ingat?"
Aku mengangguk. Memutar apa-apa tentang hujan dan kita. Tentang aroma parfummu saat hujan merapatkan kau dan aku. Tentang hujan lebat yang malah  menghangatkan. Tentang dirimu yang gemar sekali menerabas hujan tanpa sepatu. Sesuatu meleleh dari sudut mataku. Menyadari itu semua telah jauh di belakang. Dan sekarang jarak membuat kau dan aku merangkai kisah hujan masing-masing.
"....biasanya hujan begini halaman rumahku akan penuh air. Hey, apa kau tidur? Dari tadi diam saja."
Tidak, jendral. Aku sedang menikmati kisahmu. Kisah kita.
" bagus lah. Oh iya, apa stasiun Kereta-api jauh dari tempatmu, non? "
Sekitar lima belas menit, jendral.
" Ah, kalau begitu sambutlah aku  di sana, bulan depan."
Apa itu benar?? Kau akan k kotaku?
Tak kan terlewatkan, jendral.
" hmm. Semakin deras di sini."
Begitupun di sini.
Dan di sini, di sudut mata. Tapi kau tak perlu tau.
" baiklah, cukup kisahnya malam ini. Aku tak ingin kau mengingat lebih detail lagi, lalu esok pagi matamu bengkak."
Aku hanya tertawa pelan. Tapi kau terlambat.
"selamat tidur. Kemarilah, biar doa menjadi selembut-lembutnya belai."
Dan sehangat-hangat dekap.
" Apapun, perempuan. Lelaplah"

Minggu, 09 November 2014

Semua Karena Jeda



Satu satunya ruangan yang tampak benderang hanya kamarku. Sedang lainnya telah menarik selimut, merebah dalam hangat di sana.
Jendela kamarku juga satu-satunya yang masih mengizinkan udara malam masuk, sedang lainnya telah merapat dengan bingkainya. Sudah berbulan-bulan lewat, dan aku baru menyadari musim kemarau telah berpamitan, menyilahkan musim hujan membagi nikmat dalam kehidupan.
Seperti malam ini, dalam rintik kecilnya, hujan menyapa lembut. Pukul 23:30. Aku lelah, sebenarnya.
Yang aku sebalkan, mengapa hujan selalu membawa rindu-rindu yang telah tersimpan rapi? Aku mulai menghitung dengan jariku, sudah berapa lama kita tak lagi menikmati temu? Sebulan, dua.. Tiga.. Empat.. Yah, empat bulan lebih. Dan aku mulai tak dapat membedakan musim. Sebab sejak deru busku meninggalkanmu, aku hanya mengenal musim dingin.
Lucu sekali. Musim hujan dua tahun yang lalu, kita pernah berbagi atap sempit untuk berteduh dari serbuan jarum air dari langit kelabu. Katamu aku menggigil, padahal aku tak merasa dingin sedikitpun. Mana yang lebih konyol? Dulu atau sekarang?
Kini, tak ada yang lebih hidup diantara kita selain percakapan tentang kangen. Memperdebatkan siapa yang paling kangen. Tentu saja aku. Walaupun kau tak mau kalah. Tapi, yang dalam diamnya selalu mendoakan, yang dalam sibuknya selalu memikirkan, yang dalam lelapnya selalu memimpikan, itu aku. Sudahlah jangan membantah.
500 kilometer ini, biar menjadi jeda diantara kita. Supaya dapat kubenahkan dulu rindu kangen yang berantakan ini, sehingga menjadi bingkisan oleh-oleh ketika kita bertatap nanti. Kau tak kan pernah tau seberapa berantakannya dan seberapa banyaknya. Sebab terkadang, rindu-rindu itu kunikmati sendiri bersama linang-linang. Menyebalkan memang, karena membuat malamku makin panjang.
Hmm. Semakin deras saja ini hujan. Ngomong-ngomong, apa sedang hujan juga di kotamu? Ah.. Kau pasti telah lelap ditelan malam. Sini, biar kutatakan selimut untukmu.
Lelaplah diantara kelam, selamat malam.

Jumat, 24 Oktober 2014

Follow Me, Hey.


Telinganya menangkap suara kerusuhan. Demi mengetahui apa penyebab kerusuhan itu, perlahan Anya membuka mata, sedikit pening karena kepala sampingnya terbentur jendela bus akibat jalan berbatu yang tidak rata. Lima detik kemudian kesadarannya terkumpul penuh setelah tidur tiga jam perjalanan. Kerusuhan itu berasal dari teman seperjalanannya.
Tanpa terasa bibirnya membentuk satu lengkung, matanya berbinar dan jari tangannya menempel pada kaca jendela bus yang sudah mulai memperlambat lajunya, memasuki kawasan villa. Anya selalu jatuh cinta pada pegunungan dengan pohon-pohon menjulang dan perkebunannya. Ia tak menyangka bahwa ia bisa kembali ke sini lagi. Sewaktu TK, keluarganya yang dulu tinggal di Surabaya pernah mengajaknya berlibur di sini. Tapi itu sudah dulu sekali dan ia sudah lupa bagaimana keadaannya. Yang ia ingat, ia tak mau turut ayahnya menaiki kuda. " Hei, Nya! Dicariin dari tadi ternyata masih di dalam bus kamu? Ayo turun!", seru Karin, salah seorang senior di kantornya, di salah satu penerbitan ternama di Yogyakarta.
" Eh? Hehe, iya mbak. Udah nyampe ya?", Anya melihat keluar jendela, ternyata semua orang sudah berkumpul di luar dan Anya baru sadar sejak tadi orang-orang memperhatikannya melamun.
" Dasar Anya. Udah nyampe dari tadi kali, Nya.", jawab Karin. Mereka pun membaur dengan yang lain di halaman villa.
Setelah mendapat penjelasan dari Fadli, pacar Karin (merangkap ketua rombongan dan Pemred), dan kunci kamar masing-masing, halaman villa yang berumput itu mendadak lengang, karena semua ingin cepat-cepat merebah setelah perjalanan melelahkan dari Yogyakarta sejak subuh. Lain cerita dengan Anya, ia begitu bersemangat melempar ranselnya ke atas bed kamar dan bergegas keluar dengan tas kecilnya, meninggalkan Karin yang geleng-geleng kepala melihat tingkah Anya. Sesampainya di halaman, ia merentangkan tangan dan menutup mata. Menghirup udara gunung sedalam ia mampu, lalu menghembuskannya, dan melangkah ke jalanan.

Kamis, 11 September 2014

(Masih) Sahabatku

               " Sorry baru kasih kabar. Ga tau kenapa jaringan sinyal di tempatku tiba-tiba error.", smsku pada sahabatku, yang smsnya masuk bertubi-tubi, akibat pending yang berkepanjangan.

                 " Iya ga papa, Wil.", Singkat, itu balasan darinya.
 

" Maaf, kamu bete ya?", balasku.
" Ga kok. Biasa aja, Wil."
Ia tak seperti biasanya, aku yakin ia sedang badmood. Karena aku kah? Entah.
" Kalau ada yang perlu diceritakan, ceritakan saja.", jawabku.
" Hmm. Ya, memang ada yang membuatku badmood, Wil. Tapi  bukan kamu penyebabnya."
Nah, apa kataku. Aku mengenalnya, hei.
" Baiklah, Kita bertemu saja jika ingin cerita. Aku akan menemanimu sampai kapan pun. Selagi aku bisa."
Kali ini ia membalas lebih lama, menimbang-nimbang mungkin, apakah aku orang yang tepat untuk mendengar keluhannya? Atau ia bingung dengan maksud smsku yang terakhir. Ah, tidak. Ia tak sebodoh itu untuk menangkap arti sebuah perhatian --sahabatnya yang baru satu bulan akrab ini.
" Oke, tapi kapan, Wil? Aku selesai kuliah jam 12:00.", balasnya.
" Aku temui kau selesai kuliah, di kantin."
                                                                            ***

Senin, 30 Juni 2014

Mari Berlayar, Jendral.

tampar biduk telah kau lepas
enam layar kau kembangkan megah
angin laut seperti kipas
biduk kita berlayar indah

lambat-lambat hari petang
sinar surya di barat hilang
berputar langit hadirkan bintang
biduk kita berlayar tenang

terkisah ulah bintang olehmu
kau kata mereka tertawa
melihat kita sepi berdua
dibawa angin tiada jemu

pun kau pasti mengada-ada
perihal bintang tertawakan kita
aku tertawa dalam dekap bualmu
kubilang bulan malu padamu

decak ombak mengayun kapal
kau lelap dahimu memar
kutau jarimu mengapal
lelah semalam badai serbu layar

gelap langit mulai memudar
bintang-bintang mengerling di perbatasan
teringat semalam, senyumku ringan
kulihat jingga telah berpendar

kudengar bisik manja perutmu
dalam kaleng kusiapkan ikan
masih terpejam mata kau itu
menunggumu sadar tiada bosan

kau beri malamku sejuta bintang
hanya pagimu kuberi sarapan
matahari kian tinggi, sayang
bangun, kuhadiahkan kau daratan

Jangan Sedih, Rindu.



Dan akhirnya aku menginjakkan kaki di kota ini lagi, semoga bukan dalam rangka mengenang, karena tak semua mengenang akan menggembirakan. Terlebih mengenang dalam sendirian.
Tubuhku sudah limbung akibat 8 jam perjalanan di dalam bus.Terminal Arjosari, Malang, masih sama dengan dua minggu lalu, penuh sesak, aroma rokok dan keringat, penjaja asongan, dan serbuan kernet bus juga jasa ojek yang menghadang jalan. Aku hanya ingin duduk sejenak, menata keadaan badanku setelah isi perut dan kepalaku diberantakan guncangan bus Bojonegoro-Surabaya-Malang.

Tak ada yang lebih sendiri dari hati yang dipeluk sepi, dalam ramai tanpa kau disisi. Aku bergerak menjauhi tikungan pada pertokoan yang berjajar. Karena di tempat itu

Senin, 28 April 2014

Bukit ilalang~

 
Kita sudah berjalan lama, tanganmu dalam genggaman mulai basah. Berbanding terbalik dengan tenggorokan yang mulai mengering. Tak sepatah katapun kau ucap . Semakin ke barat ilalang makin tinggi. Dan semakin jingga langit, semakin kencang angin.
"Kita mau kemana?", tanyaku mulai tak sabar.
"Ikuti saja, jangan banyak tanya."
"Apa masih jauh?"
"Apa kau lelah?"
"Sedikit."
"Kalau begitu tunggulah di sini. Duduklah."
" Kau mau kemana?"
"Lihat saja."

Matahari Terbit dari Barat, Terungkap secara Ilmiah!

Semua Berita dalam Al-Qur'an sebenarnya ada ilmunya, ada pembuktiannya. Hanya pikiran manusia yang tak bisa meneliti itu semua. Allahualam. Tapi Ilmu di alam semesta ini melimpah, dan manusia sudah diberi
akal untuk mendalami itu semua, yang harusnya sebagai rasa bersyukur atas apa yang diberikanNya, dan sebagai pendorong untuk selalu dan semakin mengagungkanNya atas apa yang telah Ia ciptakan.
(pikir gue sih, udah tau bentuk KebesaranNya, masih aja banyak yang nggak beriman. Ya, tapi perlu disyukuri juga, karena nggak sedikit yang menjadi mualaf setelah mengetahui keserasian Al-Qur'an dan apa yang ada di dunia ini.)
 Langsung saja, Matahari terbit dari barat, tidak langsung terjadi begitu saja. ada prosesnya, dan itu lama sekali. Saat ini kan sedang diributkannya perpindahan Kutub Utara ke Selatan begitu juga sebaliknya.jika Kutub Utara berpindah ke Selatan maka secara harfiah maka Barat dan Timur akan berpindah juga, ya kan?

Minggu, 27 April 2014

7 Roller Coaster Ter-Damn Sedunia!!



Weelll.. Wanna try one of them? I'll very proud of ya! :D Check them out!
Top Thrill Dragster (Cedar Point, Sandusky, Ohio)
Di tahun 2003, Top Thrill Dragster dinobatkan sebagai roller coaster tercepat dan tertinggi di dunia. Kecepatannya bisa mencapai 193 km/ jam dengan ketinggian mencapai 128 m. (setara dengan gedung 42 lantai).


Drop Zone (Paramount Kings Island, Kings Island, Ohio )
Sebenarnya tidak terlalu spesial dengan Drop Zone, anda cukup duduk di kursi yang ada, diangkat sampai ketinggian 92m (setara 27 lantai), kemudian anda "dijatuhkan" dengan kecepatan sampai 115 km/ jam.


Sabtu, 08 Februari 2014

7 KEAJAIBAN BANGUNAN KUNO



1. Colossus Rodos

Colossus Rodos adalah patung Helios, yang terletak di pulau Rodos, Yunani, dibuat oleh Chares dari Lindos antara 292 dan 280 SM. Patung ini dianggap sebagai 7 keajaiban dunia kuno. Sebelum kehancurannya, patung ini berdiri lebih dari 30 meter, membuatnya sebagai patung tertinggi dalam dunia kuna. Colossus Rodos memiliki tinggi yang hampir sama dengan Patung Liberty.