Kamis, 11 September 2014

(Masih) Sahabatku

               " Sorry baru kasih kabar. Ga tau kenapa jaringan sinyal di tempatku tiba-tiba error.", smsku pada sahabatku, yang smsnya masuk bertubi-tubi, akibat pending yang berkepanjangan.

                 " Iya ga papa, Wil.", Singkat, itu balasan darinya.
 

" Maaf, kamu bete ya?", balasku.
" Ga kok. Biasa aja, Wil."
Ia tak seperti biasanya, aku yakin ia sedang badmood. Karena aku kah? Entah.
" Kalau ada yang perlu diceritakan, ceritakan saja.", jawabku.
" Hmm. Ya, memang ada yang membuatku badmood, Wil. Tapi  bukan kamu penyebabnya."
Nah, apa kataku. Aku mengenalnya, hei.
" Baiklah, Kita bertemu saja jika ingin cerita. Aku akan menemanimu sampai kapan pun. Selagi aku bisa."
Kali ini ia membalas lebih lama, menimbang-nimbang mungkin, apakah aku orang yang tepat untuk mendengar keluhannya? Atau ia bingung dengan maksud smsku yang terakhir. Ah, tidak. Ia tak sebodoh itu untuk menangkap arti sebuah perhatian --sahabatnya yang baru satu bulan akrab ini.
" Oke, tapi kapan, Wil? Aku selesai kuliah jam 12:00.", balasnya.
" Aku temui kau selesai kuliah, di kantin."
                                                                            ***



               Perempuan itu kutemui saat aku dan temanku sedang ke kampus pertama kalinya untuk mengetahui info tentang ospek. Fira namanya. Saat itu Fira sudah membawa lima teman baru,  aku mendapat teman baru delapan sekaligus.
Diantara kami berdelapan, hanya ada dua perempuan, Fira dan Ara. Ara perempuan yang pendiam, tak banyak bicara, wajahnya tenang dan ayu. Bicara seperlunya saja, itu pun jika Fira mengajaknya mengobrol. Kami yang laki-laki jarang berbicara dengannya.
Berbeda dengan Ara, Fira lebih aktif, lebih cerewet, lincah dan... sedikit tomboy, dibandingkan Ara. Hei, aku beritahu kau ya, jangan sekali-sekali menilai orang dari tampaknya saja. Karena itu hanya tampaknya. Jika bertemu dengan Fira, kau akan menuduhnya sebagai perempuan yang cuek dan sombong. Ditambah tatap matanya yang tajam jika menatap sesuatu. Kesan pertamamu akan malas dengannya.
Hanya dalam beberapa jam kami berkumpul untuk menyelesaikan tugas ospek kampus, kami sudah akrab satu sama lain. Kami sudah berbagi canda dan cerita, mengusung humor-humor yang segar, dan aku mulai memperhatikannya. Fira tak seperti tampaknya. Ia suka bercerita, ramah, dan humoris. Kesan baik yang kudapat darinya. Ia juga suka membantu. Dan yang paling penting, ia sopan dalam berpakaian. Tak seperti perempuan-perempuan yang keranjingan karena merasa bukan anak SMA lagi, lantas ugal dalam berpakaian, seenak udelnya.
                                                                         ***
" Maaf sedikit terlambat, keluar kelas masih ada urusan ke ruang akademik, Wil.", katanya yang tiba-tiba sudah di depanku. Ia menarik kursi dan meletakkan ranselnya diatas meja, lantas duduk berhadapan denganku. Aku tak melihatnya berjalan dari kejauhan. Ia seperti muncul tiba-tiba, atau aku yang tak memperhatikan?
" Ga papa, Fir. Baru aja kok. ", jawabku, kuberikan senyum terbaikku untuk menyambutnya.
" Kamu sudah makan siang?", tanyanya.
" Belum. Kamu sudah lapar? Makan aja dulu, Fir"
" Ntar aja, Wil.", lalu ia sibuk dengan handphonenya.
" Ehm.. Well. Ada yang bisa saya bantu, non?", to the point saja, aku yakin ia pun ingin segera mengeluarkan penyebab risaunya.
Ia menarik sedikit bibir kirinya, lalu melihat ke sekeliling. Setelah menata posisi duduknya, ia mulai membuka mulut.
" Aku tak bisa bergaul dengan mereka.", aha. Jawaban yang to the point pula,  bukan?
" Mereka siapa?"
" Mahasiswi lain di kelas."
" Penyebabnya?"
" Yaa.. Ga cocok aja. Masa dikit-dikit dibikin heboh, dikit-dikit teriak-teriak ga jelas.", ekspresinya lucu sekali saat ia sedang kesal dan manyun. Tapi tentu saja aku menyimpan tawaku dalam hati.
" Itu normal sebagai cewek, Fir. Cewek mah memang begitu.", jawabku seraya terkekeh.
" Oh jadi menurutmu aku ga normal gitu?", kedua alisnya terangkat. Ekspresi yang menggemaskan.
" Iya, kan? Kamu kan semi-semi cewek atau cowok gitu deh.", godaku.
" Okay.. okay.. Fine. Oke fine, Willy.", ia melipat tangannya sambil membuang muka. Hanya masalah sepele saja ia sudah merajuk, badmood. Hhh.. Dasar perempuan. Aku diam, demi menunggu reaksi berikutnya. Sesekali ia menatapku. Lalu melempar pandangannya jauh, lalu matanya mengekor pada mahasiswa-mahasiswi yang lalu lalang di kantin ini, dan menatapku lagi. Aku mengangkat alisku, yang kumaksud " Kenapa?"
" Lalu aku harus bagaimana, Willy?"
" Kamu yakin cuma gara-gara ini doang kamu bete, Fir?", selidikku.
" Yah, apa lagi??", apa lagi, katanya??
" Fira, aku beri tahu ya. Kamu itu cuma lagi kangen aja, makanya bikin bete. Apa-apa yang ga salah jadi salah di matamu, semua ngeselin, semua bikin bete, iya, kan?", itu begitu saja keluar dari mulutku, sungguh di luar kepala.
" Kangen siapa emangnya? Sok tau deh kamu, Wil.", aku bukan sok tau, aku benar-benar tau.
" Dia masih mengisi hatimu, kan, Fir? Laki-laki yang jaraknya lima ratus kilometer itu masih mengisi hatimu, kan?"
Ia terdiam. Memandangku sebentar sebelum akhirnya menerawang langit biru yang nampak dari sela-sela dedaunan.
Apa-apa yang bergerak di sekitarku serasa melambat dan berhenti. Pun napasku, sempat tertahan beberapa detik. Pandanganku tertuju padanya, pada matanya yang mendadak sayu dan layu, setia pada langit biru. Asal kau tau, bukan hanya hatinya yang sedang dipenuhi macam-macam rasa karena rindu yang menjalar. Aku tak kalah gusarnya di dalam hati. Bukan, bukan karena rindu pada perempuan yang sama jauhnya seperti kekasihnya itu. Tapi...
" Aku pesan makanan dulu ya, Fir.",  aku tak bisa berlama-lama di depan perempuan yang sedang risau ini, yang pikirannya sedang tidak di sini.
                                                                                 ***
Dua minggu yang lalu.

" Hei, Fir! Sudah lama?", sapaku sambil menepuk bahu kanannya.
" Hei, lumayan sih. Yang lain mana?"
" Ntar lagi juga datang. Nunggunya sambil duduk yuk, di situ.", kataku sambil menunjuk tempat duduk yang terbuat dari beton semen itu. Siang ini kami berdelapan membuat janji untuk berjalan-jalan, sekedar jalan dan berbagi cerita, sekedar santai dan membunuh sepi. Tapi sebelum itu, kami sepakat untuk makan siang terlebih dahulu. Sementara hari-hari sibuk itu sudah lewat dua hari lalu, ya, hari ospek. Dan, sudah seminggu persahabatan kami teruntai.
" Golongan darah mu apa, Fir?", tanyaku, membuka percakapan yang sedikit terlambat.
" 0. Kenapa, Wil?"
" Oh ya? Serius??"
" Iyaa, memangnya kenapa?"
" Tau ga sih, biasanya aku suka sama cewek yang golongan darahnya 0.", serius, tak ada sedikit pun maksud menggombal.
" Masa? Kok bisa begitu? Kenapa harus golongan darah 0?", tanyamu, mulai antusias.
" Bukan harus, Fir. Tapi dari pengalaman-pengalaman sih gitu. Karena orang yang golongan darahnya sama, sifatnya sama. Dan sebagian besar memang begitu, Fir. Sebelumnya aku pernah tiga kali pacaran, dan golongan darahnya 0 semua, ya sama gitu sifatnya.", jelasku.
" Ooh. Gitu ya?"
" Iya. Golongan darah 0 itu, dia keliatannya aja diem, coba kalau sudah beberapa waktu kenal, aslinya keluar dan jadi asik orangnya."
" Eh, iya loh, aku gitu, Wil. Hehe..", yah, memang, Fir.
" Betewe, Wil, sorry yah mau nanya, kamu punya cewek?"
" Sudah putus, Fir. Masih proses move on. Hehe.. Belum nemu yang pas aja."
" Ooh.. Sorry-sorry. Kalo boleh tau, kenapa putus? Pacaran berapa lama emangnya?"
" Hmm.. Dia matre abis, Fir. Gila pokonya. Cuma sebentar, dua bulan aja."
" Oh ya? Cepet banget. Siapa yang mutusin?"
" Ya akulah, Fiiir. Wajahnya doang yang bagus, hatinya kagak. Amit-amit deh punya cewek kaya dia."
 Ia hanya tertawa. Apanya yang lucu, itu cerita menyedihkan dalam hidupku, dia malah tertawa. Tapi.. tawanya mengundang sejuk di dada.
" Sorry, Fir. Kamu pernah pacaran?", tanyaku memberanikan diri, setelah sepi diantara kami. Ia tampak berpikir untuk menjawab pertanyaanku barusan.
" Yah.. I'm.", jawabnya tanpa menoleh padaku. Jawaban singkat itu jelas artinya adalah 'sedang' . Sesuatu seperti menekan dadaku, sesak. Lalu hening diantara kami. Lembut angin menggugurkan daun-daun, hanya itu adegan bisu di depan kami.
" Eng... Sorry, Wil. Kamu...."
Aku tak berani menatapnya, hanya sekilas lirikan, dan cepat.
" Iya, Fir. Maaf.."
" Kamu serius, Wil??", ah, Fira. Sifatmu yang blak-blakan selalu membuatku geregetan.
" Ya, tapi ga apa-apa kok, Fir. Sekedar suka dan kagum saja dengan apa yang ada padamu. Tak lebih. Maaf sebelumnya.", jawabku, masih tak menatapnya.
" Kenapa aku, Wil?"
" Entah, hati yang menuntun perasaan, Fir."
" Tapi.. Ini cepat sekali, Wil. Kita akrab baru seminggu. ", aku hanya mengangkat kedua bahuku.
" Aku menyayangimu, sebagai sahabat karib, Wil. Tak lebih. Maaf..", lanjutnya. Memang lah waktu yang singkat, tetapi soal hati, siapa yang bisa menebak dan menentukan? Pun waktu. Tak bisa.
" Aku pun menyayangimu. Aku akan menyayangimu sebagai sahabat, juga, Fir. It's okay.", aku menoleh padanya, tersenyum semampu yang aku bisa, demi meyakinkannya bahwa aku akan tetap menjadi sahabatnya, yang selalu ada untuknya, dan berusaha menyenangkannya. Selanjutnya sepi yang menguasai kami. Angin berhembus lagi, daun-daun jatuh bebas diantara sepi kami.
Suara langkah kaki berderap mengusir sunyi, disusul teriakan kecil enam sahabat kami. Setelah semua lengkap berkumpul, kami mulai menyusuri trotoar jalan. Fira berjalan di sebelahku.
" Kalau boleh tau, Fir. Cowokmu di mana? Kenalin dong."
" Dia jauh, Willy. Lima ratus kilometer jauhnya."
                                                                        ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar