Senin, 30 Juni 2014

Mari Berlayar, Jendral.

tampar biduk telah kau lepas
enam layar kau kembangkan megah
angin laut seperti kipas
biduk kita berlayar indah

lambat-lambat hari petang
sinar surya di barat hilang
berputar langit hadirkan bintang
biduk kita berlayar tenang

terkisah ulah bintang olehmu
kau kata mereka tertawa
melihat kita sepi berdua
dibawa angin tiada jemu

pun kau pasti mengada-ada
perihal bintang tertawakan kita
aku tertawa dalam dekap bualmu
kubilang bulan malu padamu

decak ombak mengayun kapal
kau lelap dahimu memar
kutau jarimu mengapal
lelah semalam badai serbu layar

gelap langit mulai memudar
bintang-bintang mengerling di perbatasan
teringat semalam, senyumku ringan
kulihat jingga telah berpendar

kudengar bisik manja perutmu
dalam kaleng kusiapkan ikan
masih terpejam mata kau itu
menunggumu sadar tiada bosan

kau beri malamku sejuta bintang
hanya pagimu kuberi sarapan
matahari kian tinggi, sayang
bangun, kuhadiahkan kau daratan

Jangan Sedih, Rindu.



Dan akhirnya aku menginjakkan kaki di kota ini lagi, semoga bukan dalam rangka mengenang, karena tak semua mengenang akan menggembirakan. Terlebih mengenang dalam sendirian.
Tubuhku sudah limbung akibat 8 jam perjalanan di dalam bus.Terminal Arjosari, Malang, masih sama dengan dua minggu lalu, penuh sesak, aroma rokok dan keringat, penjaja asongan, dan serbuan kernet bus juga jasa ojek yang menghadang jalan. Aku hanya ingin duduk sejenak, menata keadaan badanku setelah isi perut dan kepalaku diberantakan guncangan bus Bojonegoro-Surabaya-Malang.

Tak ada yang lebih sendiri dari hati yang dipeluk sepi, dalam ramai tanpa kau disisi. Aku bergerak menjauhi tikungan pada pertokoan yang berjajar. Karena di tempat itu