Jumat, 19 Desember 2014

Hello and Goodbye

Aku menemukannya di suatu keramaian kota, di salah satu sudut pertokoan yang berdesak-desakkan, pada suatu malam. Seandainya aku tak menuruti Julie, sepupuku dari London ini, untuk berlibur ke Indonesia, aku tak akan menjadi pesakitan seperti ini. Rengekan seorang cewek memang membius, hingga mamaku memaksaku untuk menemani Julie ke  sebuah kampung yang jauh dari kota, dalam Daerah Istimewa Yogyakarta, rumah kakek kami. Kalau saja aku mampu menolak, aku sudah berlibur ke Perancis bersama teman-teman sekampusku, aku tak kan sampai ke tempat ini, dan aku tak kan bertemu dengannya.
         ***
Lepas magrib ini, Julie mengajakku ke balai desa. Kebetulan sedang berlangsung acara taunan di desa ini, semacam bersih desa, jadi berbagai pementasan di pertontonkan, sebagai hiburan, hingga larut malam.
Entah apa yang membuat Julie begitu antusias dengan panggung sempit ini, menurutku itu sudah biasa, maksudku, aku sudah bosan dengan acara bersih desa, sejak kecil kakek mengajakku bergadang hanya untuk melihat acara ini. Sebenarnya aku ingin beristirahat setelah perjalanan udara dari London tadi. Tapi, lelaki macam apa membiarkan perempuan berjalan malam-malam sendirian.
Plak! Ahh nyamuk - nyamuk mulai menyerbu. Aku baru menyadari, tak pernah kutemukan nyamuk seganas ini di London.
"ayolah, Julie. Kau mau di sini sampai kapan?", keluhku. Julie asik dengan cameranya.
"sampai selesai.", jawabnya enteng.
"kalau begitu aku pulang saja dulu. "
" kau pulang saja. Tidak masalah. "
Hhh.. Tidak berhasil membujuknya. Mana mungkin aku benar-benar meninggalkannya.
" hei, Julie. Di sini banyak copet. Ayo cepat pulang. ", bujukku lagi.
" aku tidak membawa uang dan handphone-ku"
"tapi cameramu... "
" tidak mungkin hilang, Farrell.", jawabnya santai, bahkan tanpa menoleh padaku.
Aku melangkah ke sudut yang agak sepi penonton dan memilih duduk bersandar di padepokan.
Semilir angin mengusap-usap ubun-ubunku. Beberapa detik lagi aku pasti sudah dihanyut kantuk, kalau saja mataku tak menangkap sosok itu. Sosok yang samar-samar, lalu semakin lama semakin terang dan jelas. Ia memakai jarik batik yang dililit di dadanya hingga ke lutut dirangkap kebaya emas yang terawang, rambutnya disanggul tinggi, seuntai selendang kuning mengalung di lehernya. Aku mengucek-ucek mataku, berusaha mengenali sosok di depanku ini. Sampai ia melambaikan tangan dan aku sadar pun, belum kutemukan jawabannya.
"Farrel, kan?", aku mengangguk ragu sambil mengingat-ngingat siapa perempuan ini. Ia mengulurkan tangan, masih dengan senyumnya. Aku membalas jabatannya, dan masih dengan keraguanku.
" Apa kabar?", tanyanya, lalu duduk di sebelahku. Memandang keramaian di sekitar panggung.
" aku..  Baik. "
"  Dua tahun tak pulang benar-benar membuatmu lupa padaku ya? ", tanyanya sambil terkekeh. Aku masih diam. Apa ia...
" Jelas saja, di Inggris banyak perempuan cantik, to?"
Aku mencondongkan badanku ke arahnya, " Kamu Dilah?? Fadilah Rumanti??"
Ia menatapku seraya tersenyum, detik berikutnya ia mengangguk.
Aku terkesiap dan lidahku kaku. Gadis ini..
" Aku siap-siap dulu. Sudah mau mulai", ia berdiri dan berjalan ke arah panggung tanpa menoleh lagi.
"Farrel! Ke mana saja? Aku pikir kau sudah pulang. Malah di sini. Ayo pulang."
" Aku akan menemanimu sampai selesai acara", kataku pada Julie, dan ia kutinggalkan di belakang. Sempat kudengar ia menggerutu, " Dasar plin-plan! Aku akan pulang duluan! "
***
Pukul 10 malam, namun suasana semakin ramai. Riuh tepuk tangan penonton menggema seusai ia, gadis itu, melenggakkan gerakkan terakhirnya. Tak terkecuali aku. Lalu ia menuruni panggung, sementara mataku mengekor dan kakiku melangkah ke arahnya. Jantungku mulai berdegup tak menentu seiring dengan jarakku padanya yang semakin dekat. Kulihat ia sedang bercengkrama dengan lelaki tinggi, berkumis dan.. Tua. Kuperkirakan usianya 30 tahun.
Setelah mengangguk beberapa kali ke lelaki itu, ia berbalik dan sedikit terkejut mendapatiku berdiri beberapa meter di belakangnya. Lantas ia tersenyum dan berjalan mendekat.
" Masih belum pulang, Far? "
Aku tersenyum dan menggeleng," bisa kita ngobrol sebentar?", tanyaku yang tak pandai basa-basi.
"Tapi sudah malam.", jawabnya.
" Nanti kuantar kau pulang. "
" Baiklah. Kita ke sana saja. ", katanya sambil menunjuk tempat kita bertemu tadi.
Ia duduk tepat di sampingku. Satu menit pertama hanya diam yang ada, sebelum kutanya" apa kabarmu, Dilah? "
" Aku baik. ", jawabnya singkat.
" Kalau boleh tau, siapa laki-laki yang tadi? "
" Oh.. Namanya Ghofar. Kami menikah lima bulan yang lalu. "
MENIKAH?? Jantungku kembali tak menentu, namun kali ini seperti akan berhenti. Nafasku menjadi berat dan tempat ini serasa menyempit.
" apa aku tak salah dengar? ", tanyaku, berrharap ia hanya bercanda.
" apa aku akan bercanda untuk mengatakan hal seserius itu? "
Ahh.. Dan ia langsung mematahkan harapanku barusan.
Bagaimana bisa ia melakukannya? Kenapa cepat sekali? Ia bilang ia ingin menjadi penulis dulu, baru ia akan menikah. Yah.. Setidaknya itu yang ia katankan padaku saat kami kelas tiga SMA. Dan.. Ia juga pernah bilang kalau ia... Menyayangiku. Tapi.. Kenapa...
Hhh.. Ini terlalu tiba-tiba untukku, terlalu menyesakkan dan... Sakit.
" Ceritanya panjang, Farrel. Setaun yang lalu ibu sakit keras, dan kami tidak punya biaya... "
" Lalu datang seorang kaya raya dan akan membantumu asalkan kau menikah dengannya?? ", potongku, tak sabaran.
" Tepat sekali. "
" Apa?? Yang benar saja, Dilah. Alasan yang klise.", aku membuang pandangan, karena kedekatan ini sudah berubah menyakitkan.
"tapi memang begitu keadaannya, Farrel. Lagi pula, kenapa kamu marah-marah?"
" Oh. Baiklah, aku memang tak punya hak untuk marah. "jawabku ketus. Ia diam. Kami diam. Lalu sepi menguasai kami. Selama beberapa menit hanya dengungan nyamuk yang kudengar.
" Salahmu sendiri, kenapa tak meninggalkan nomor telepon atau email?aku tidak mau menunggu tanpa kepastian, dan situasi di rumah sedang kepepet waktu dulu itu", katanya tiba-tiba, memecah sunyi.
"aku ingin mengatakan sesuatu padamu saat aku akan berangkat ke banndara dulu. Kau malah tidak ada di rumah.", ia diam lagi, lalu menunduk. Memainkan selendang di jemarinya.
"aku takut melihatmu pergi. ", jawabnya, masih sambil menunduk, dan itu semakin dalam.
Pundaknya naik turun tak beraturan, seiring dengan nafasnya yang mulai memburu.
Dan ia meneteskan air mata.
Aku merapatkan dudukku dengannya, melingkarkan lenganku pada bahunya, berharap dekapku melelehkan hatinya yang sedang kaku, demi mengingat masa lalu. Biarlah, biarlah pundakku saja baginya sekarang.
Fadilah, gadis yang sejak kecil menjadi teman mainku, yang selalu aku ingin lindungi, yang sejak aku SMP wajahnya selalu terbawa mimpi, yang sejak SMA mengaku menautkan hatinya padaku, yang sejak dua tahun aku meninggalkannya ke London tanpa salam perpisahan, kini seperti tak kan tergapai lagi. Raganya sudah dalam genggaman lelaki lain.
" Dilah? "
Ia tak menjawab, masih sesenggukan.
"  Apa kau mencintai Ghofar? "
Ia menggeleng cepat. Tak terasa senyumku terkembang sedikit. Tapi.. Aku bisa apa lagi? Kuliah saja belum dua tahun. Hmm.
" Bagaimana kabar ibumu? Apa ia sudah sehat? "
Ia mengangguk lagi.
Lengannya melingkar di pinggangku. Dan ia menangis kembali.
Dilah, kau pikir aku tak ingin menangis? aku belum menaruh hati pada lainnya, Dilah. Kau tenang saja.
Tapi bagaimana caraku agar bisa bersamanya? Sementara ia sudah bersuami. Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh.
" Nanti kutinggalkan nomor teleponku. Apa kau sudah dibelikan handphone oleh Ghofar?"
Ia mengangguk lagi.
" Baguslah. Kalau begitu ayo kuantar pulang. "
Lambat-lambat ia bangkit dan melepas pelukannya.
" Terimakasih telah datang,  Farrel. Maaf.  Maaf aku tak bisa menunggu lama. "
" bukan salahmu. Ayo"
Sepanjang perjalanan kami diam. Hanya genggam yang semakin lama semakin erat.
Aku tak sanggup menanyakan bagaimana kelanjutan kami nanti. Aku tak sanggup melihatnya menangis lagi.
"masuklah,  segera Istirahat. ", kataku ketika sampai di depan rumahnya.
Ia mengangguk pelan. Aku tersenyum. Ia berbalik dan melangkah pelan. Begitupun aku.
***
Pagi-pagi sekali aku membuka gembok rumah kakekku. Aku akan ke rumah Dilah dan mengajaknya ngobrol lagi. Aku ingin menjelaskan semuanya, sebelum semua terlambat. Aku sudah berkesempatan bertemu dengannya lagi dan tak mau menyia-nyiakan. Lagipula, aku  sudah berjanji akan memberinya nomor telepon.
Setibanya di depan pintu rumahnya, aku mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang perwmphan yang sangat kukenali keluar, " Ya Allah,  Farrel tho ini? Mari masuk dulu."
" iya, Bu. Terimakasih. Saya mau bertemu Dilah"
" Loh? Semalam dia sama kamu, tho? "
Aku mengangguk dan mengiyakan.
" loh, ibu pikir sudah cerita."
Aku semakin tak mengerti, " cerita apa, ya, Bu?"
" Dilah ikut Ghofar, suaminya, ke Jakarta. Dini hari tadi berangkat, ada proyek perusahaan katanya. "
DEG!
Dunia seperti berhenti berputar. Aku bagai magnet yang menarik segala kesedihan, sesak merapat mendekap hati dan badan. Segera aku berpamitan pada ibu Dilah. Perasaanku tak karuan, pikiranku entah di mana dan jiwaku terasa hilang.
Langkahku gontai. Aku berjalan tanpa tujuan. Pulang pun aku enggan. Dan aku melangkah ke suatu tempat, padepokan.