Rabu, 12 November 2014

Hujan

Telah lewat lagi satu purnama. Sebentar lagi genap lima bulan kita tak kunjung bertukar senyum, melainkan bertukar pesan dan mengandalkan jaringan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhir tahun selalu dimensions oleh hujan sepanjang hari. Tak peduli apakah kita baru saja menutup hari, atau bahkan baru akan memulai hari. Aku pikir, kenangan-kenangan yang kata orang muncul setiap hujan,  hanyalah berlebihan. Maksudku, yah.. Bukan hanya saat hujan saja kan kita pernah lalui waktu bersama? Di bawah terik raja siang pun kita pernah. Ah.. Hujan. Entah siapa yang memulai, menjadikan hujan sebagai alat untuk bernostalgia.
Malam ini pun begitu. Hujan memaksaku menutup jendela kamar lebih awal dari biasanya. Kurasakan rintiknya yang dingin pada punggung tanganku,  sebelum kutarik tanganku sambil merapatkan jendela. Dan air langit pun tumpah ruah.
Segalanya menjadi dingin, pun kasur dan selimutku tak manyisakan hangat. Memanglah, hanya dekap yang menghangatkan, jiwa dan hati.
Jadi.. Apa kau sudah lelap?

" Belum. Di sini hujan sedang turun malu-malu. Bagaimana langitmu? "
Langitku sedang menumpahkan segala kesedihannya. Hujan lebat.
Lalu kau terkekeh. Lalu diam beberapa detik. Sebelum kudengar tarikan nafasmu. Aku menunggumu bicara." Sudah mulai hujan setiap hari, ya. "
Yah.. Setiap hari.
" aku senang saat hari hujan, karena aku bisa mengunjungi kenangan. ", tuturmu.
Aku diam, menunggu kelanjutanmu.
" kau mau ikut?"
Baiklah..
"ketika hujan, aku suka mengingat masa-masa SMA.  Ketika hujan tiba lebih awal dari matahari, aku sedikit malas mengayuh sepedaku ke sekolah. Truk-truk menjadi monster menyebalkan saat melintasi kubangan air coklat. "
Aku tersenyum. Ya, kau, sepeda dan jaket hitammu bersatu menantang  hujan. Aku pernah mengamatimu, sepertinya kau menikmati rintik tajam yang terjun bebas ke wajah putihmu itu.
" aku ingat, saat gerimis pagi-pagi dan aku baru saja sampai halaman sekolah, aku merasa seseorang mengikutiku. Dan benar saja, ia mengikutiku sampai masuk kelas. Ternyata itu kau, perempuan. "
Hei, aku tidak mengikutimu. Memanglah kita ada di kelas yang sama saat itu.
" Dan yang tak pernah ktinggalan, ialah kenangan tentangmu. "
Aku tersenyum lagi, Membiarkan celotehmu mengisi telingaku. Tiba-tiba semakin dingin.
" sore itu, hujan menjaga kita. Menjaga agar tinggal sebentar untuk berdua. Kau ingat?"
Aku mengangguk. Memutar apa-apa tentang hujan dan kita. Tentang aroma parfummu saat hujan merapatkan kau dan aku. Tentang hujan lebat yang malah  menghangatkan. Tentang dirimu yang gemar sekali menerabas hujan tanpa sepatu. Sesuatu meleleh dari sudut mataku. Menyadari itu semua telah jauh di belakang. Dan sekarang jarak membuat kau dan aku merangkai kisah hujan masing-masing.
"....biasanya hujan begini halaman rumahku akan penuh air. Hey, apa kau tidur? Dari tadi diam saja."
Tidak, jendral. Aku sedang menikmati kisahmu. Kisah kita.
" bagus lah. Oh iya, apa stasiun Kereta-api jauh dari tempatmu, non? "
Sekitar lima belas menit, jendral.
" Ah, kalau begitu sambutlah aku  di sana, bulan depan."
Apa itu benar?? Kau akan k kotaku?
Tak kan terlewatkan, jendral.
" hmm. Semakin deras di sini."
Begitupun di sini.
Dan di sini, di sudut mata. Tapi kau tak perlu tau.
" baiklah, cukup kisahnya malam ini. Aku tak ingin kau mengingat lebih detail lagi, lalu esok pagi matamu bengkak."
Aku hanya tertawa pelan. Tapi kau terlambat.
"selamat tidur. Kemarilah, biar doa menjadi selembut-lembutnya belai."
Dan sehangat-hangat dekap.
" Apapun, perempuan. Lelaplah"

Minggu, 09 November 2014

Semua Karena Jeda



Satu satunya ruangan yang tampak benderang hanya kamarku. Sedang lainnya telah menarik selimut, merebah dalam hangat di sana.
Jendela kamarku juga satu-satunya yang masih mengizinkan udara malam masuk, sedang lainnya telah merapat dengan bingkainya. Sudah berbulan-bulan lewat, dan aku baru menyadari musim kemarau telah berpamitan, menyilahkan musim hujan membagi nikmat dalam kehidupan.
Seperti malam ini, dalam rintik kecilnya, hujan menyapa lembut. Pukul 23:30. Aku lelah, sebenarnya.
Yang aku sebalkan, mengapa hujan selalu membawa rindu-rindu yang telah tersimpan rapi? Aku mulai menghitung dengan jariku, sudah berapa lama kita tak lagi menikmati temu? Sebulan, dua.. Tiga.. Empat.. Yah, empat bulan lebih. Dan aku mulai tak dapat membedakan musim. Sebab sejak deru busku meninggalkanmu, aku hanya mengenal musim dingin.
Lucu sekali. Musim hujan dua tahun yang lalu, kita pernah berbagi atap sempit untuk berteduh dari serbuan jarum air dari langit kelabu. Katamu aku menggigil, padahal aku tak merasa dingin sedikitpun. Mana yang lebih konyol? Dulu atau sekarang?
Kini, tak ada yang lebih hidup diantara kita selain percakapan tentang kangen. Memperdebatkan siapa yang paling kangen. Tentu saja aku. Walaupun kau tak mau kalah. Tapi, yang dalam diamnya selalu mendoakan, yang dalam sibuknya selalu memikirkan, yang dalam lelapnya selalu memimpikan, itu aku. Sudahlah jangan membantah.
500 kilometer ini, biar menjadi jeda diantara kita. Supaya dapat kubenahkan dulu rindu kangen yang berantakan ini, sehingga menjadi bingkisan oleh-oleh ketika kita bertatap nanti. Kau tak kan pernah tau seberapa berantakannya dan seberapa banyaknya. Sebab terkadang, rindu-rindu itu kunikmati sendiri bersama linang-linang. Menyebalkan memang, karena membuat malamku makin panjang.
Hmm. Semakin deras saja ini hujan. Ngomong-ngomong, apa sedang hujan juga di kotamu? Ah.. Kau pasti telah lelap ditelan malam. Sini, biar kutatakan selimut untukmu.
Lelaplah diantara kelam, selamat malam.