Dan akhirnya aku menginjakkan kaki di kota ini lagi, semoga bukan dalam rangka mengenang, karena tak semua mengenang akan menggembirakan. Terlebih mengenang dalam sendirian.
Tubuhku sudah limbung akibat 8 jam perjalanan di dalam bus.Terminal Arjosari, Malang, masih sama dengan dua minggu lalu, penuh sesak, aroma rokok dan keringat, penjaja asongan, dan serbuan kernet bus juga jasa ojek yang menghadang jalan. Aku hanya ingin duduk sejenak, menata keadaan badanku setelah isi perut dan kepalaku diberantakan guncangan bus Bojonegoro-Surabaya-Malang.
Tak ada yang lebih sendiri dari hati yang dipeluk sepi, dalam ramai tanpa kau disisi. Aku bergerak menjauhi tikungan pada pertokoan yang berjajar. Karena di tempat itu
kau melambai demi mencariku dalam kerumunan, dua minggu lalu.
Senja yang tidak sama sekali jingga, melainkan kelabu. Semesta tau yang menyesakkan dadaku. Tanpa permisi, berliter-liter air tumpah dari langit, yang menahanku tetap duduk di sini, mengenang sebuah kebersamaan.
Sekali lagi aku lirik tikungan itu. Kau, baju batik, celana jeans dan ranselmu masih saja disana. Aku menata napas yang memburu, menahan yang akan terjun bebas di pipi. Di Probolinggo, kau sedang apa?
Drrt.. Drrt..
" Sudah sampai belum?", pesan darimu. Aku begitu terseret imaji tentangmu, sampai lupa akan keberadaanmu sebenarnya. Kau tau? Aku baru saja memikirkanmu.
" Baru saja turun bis, hujan lebat."
...send...
" Ya sudah, tunggu reda, diisi dulu itu perutnya. Hati-hati ya."
" Iya.. Aku keinget kamu waktu di sini dulu :") "
" Hmm. Rindu memang menyakitkan. Tapi, kamu jangan nangis ya :)"
Setitik dua titik tak tahan untuk tak meluncur, " Iya :)", maaf, aku tak menepati janji, untuk tidak cengeng.
Hujan dan awan kelabu masih setia. Hingga air menggenangi terminal ini setinggi mata kaki.
Setelah tubuhku kupaksa siap berjalan lagi, aku segera melepas sepatu dan menggendong ranselku, melindunginya dari serbuan air. Aku tak terburu-buru menuju parkiran angkotan kota, menikmati setiap tetes dinginnya hujan yang hinggap di wajah kucelku. Hap! Akhirnya, hawa sesak oleh napas penumpang menghangatkanku di dalam angkutan kota, menuju kediaman sanaksaudara.
***
Seharusnya aku tidak perlu ke sini. Ke gedung yang entah tingkat berapa, ke gedung yang isinya bermacam-macam barang dipajang-dan dijual. Ke gedung merah besar, yang orang-orang sebut Mall Malang, dimana dua pasang kaki pernah melangkah beriringan, berdempet agar jejak tak saling kehilangan. Tibalah aku di pintu masuk gedung itu, melangkah lambat-lambat. Aku tak banyak menoleh kanan kiri, pun ketika sampai di kios sandal dan sepatu, tempat kau mencari sandal baru karena sandal yang kau pakai telah penat menemanimu berjalan denganku, atau ketika di kios makanan tempat kau ingin segera meredakan gemuruh perutmu, atau di kedai kopi tempat kau mengajakku mampir sejenak untuk menyeruput white coffee, kala itu. Ya, seharusnya aku tak di sini untuk mengenang tawa, tapi bersedih
Tapi satu tempat yang akan aku kunjungi, ialah toko buku. Satu-satunya tempat kenangan yang aku mau memasukinya, bukan untuk mengingatmu. Hanya bersenang-senang. Tapi, bagaimana bisa bersenang-senang jika sendirian? Coba, bagaimana??
Langkahku yang pasti masuk ke toko buku, ke tempat rak-rak novel remaja-dewasa.
" Kenapa sih setiap yang aku pegang selalu jatuh dan berantakan?", sesalmu tiba-tiba, mengagetkanku yang asyik memilih buku. Lantas aku mengembalikan buku yang aku pegang, dan menatapmu.
" Ada apa emangnya??"
" Itu tuh. Tadi aku lihat-lihat komik di sebelah sana, tuh. Aku cuma mau ambil, eh, malah jatuh semua. Terus tadi juga waktu di toko sandal, aku cuma pegang doang, pada jatuh sandalnya. Iya, kan?", gerutumu, sebal.
Aku menahan tawa dengan satu simpul di bibirku. Lucu. " Ya sudah, hati-hati aja deh kamu. Hihi.."
Bayangan itu susah payah aku enyahkan dari kepalaku. Tidak, jangan jatuh di sini. Tak ada pundak yang menampung. Maka, aku edarkan pandanganku pada sederetan novel dirak bagian atas, pada novel drama atau sinetron luar negri macam Amerika, Mexico, dan sebagainya. Bukan, bukannya seperti itu selera bacaanku. Itu hanya dalam rangka agar air yang telah menggenang ini tidak tumpah, itu saja.
Aku pun mulai menguasai diri lagi. Jari-jariku menyusuri judul demi judul buku. Aku tergelitik pada satu judul: Long Distance Heart. Ada tiga seri pula. Bagaimana kalau buku ini saja?? Sepertinya menarik.
Ah, tidak. Ini akan membuatku larut dalam rindu. Bukan rindunya yang bermasalah, tapi sedih yang larut. Yang merasa sepi dalam ramai, yang merasa gelap dalam terang, yang merasa sendiri dalam teman. Semuanya itu tak boleh terus berkembang. Hanya cinta yang boleh berkembang di sini.
Aku tak sendirian, kan? Rinduku tak berkelana sendirian, kan? Hei, tolong dijawab.
Arlojiku menunjukkan matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya, dan hampir berpulang, menyeret gelap. Aku sudah menemukan buku yang kupilih untuk kubaca, aku pastikan tak kan membuatku semakin menyedihkan membayangkan sosokmu. Kau tenang saja. Tapi aku tak lupa caranya merindu. Pun getar itu, masih sama seperti tepat dua tahun lalu.
Malang, 300614
Tapi satu tempat yang akan aku kunjungi, ialah toko buku. Satu-satunya tempat kenangan yang aku mau memasukinya, bukan untuk mengingatmu. Hanya bersenang-senang. Tapi, bagaimana bisa bersenang-senang jika sendirian? Coba, bagaimana??
Langkahku yang pasti masuk ke toko buku, ke tempat rak-rak novel remaja-dewasa.
" Kenapa sih setiap yang aku pegang selalu jatuh dan berantakan?", sesalmu tiba-tiba, mengagetkanku yang asyik memilih buku. Lantas aku mengembalikan buku yang aku pegang, dan menatapmu.
" Ada apa emangnya??"
" Itu tuh. Tadi aku lihat-lihat komik di sebelah sana, tuh. Aku cuma mau ambil, eh, malah jatuh semua. Terus tadi juga waktu di toko sandal, aku cuma pegang doang, pada jatuh sandalnya. Iya, kan?", gerutumu, sebal.
Aku menahan tawa dengan satu simpul di bibirku. Lucu. " Ya sudah, hati-hati aja deh kamu. Hihi.."
Bayangan itu susah payah aku enyahkan dari kepalaku. Tidak, jangan jatuh di sini. Tak ada pundak yang menampung. Maka, aku edarkan pandanganku pada sederetan novel dirak bagian atas, pada novel drama atau sinetron luar negri macam Amerika, Mexico, dan sebagainya. Bukan, bukannya seperti itu selera bacaanku. Itu hanya dalam rangka agar air yang telah menggenang ini tidak tumpah, itu saja.
Aku pun mulai menguasai diri lagi. Jari-jariku menyusuri judul demi judul buku. Aku tergelitik pada satu judul: Long Distance Heart. Ada tiga seri pula. Bagaimana kalau buku ini saja?? Sepertinya menarik.
Ah, tidak. Ini akan membuatku larut dalam rindu. Bukan rindunya yang bermasalah, tapi sedih yang larut. Yang merasa sepi dalam ramai, yang merasa gelap dalam terang, yang merasa sendiri dalam teman. Semuanya itu tak boleh terus berkembang. Hanya cinta yang boleh berkembang di sini.
Aku tak sendirian, kan? Rinduku tak berkelana sendirian, kan? Hei, tolong dijawab.
Arlojiku menunjukkan matahari sudah hampir menyelesaikan tugasnya, dan hampir berpulang, menyeret gelap. Aku sudah menemukan buku yang kupilih untuk kubaca, aku pastikan tak kan membuatku semakin menyedihkan membayangkan sosokmu. Kau tenang saja. Tapi aku tak lupa caranya merindu. Pun getar itu, masih sama seperti tepat dua tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar