Jumat, 24 Oktober 2014

Follow Me, Hey.


Telinganya menangkap suara kerusuhan. Demi mengetahui apa penyebab kerusuhan itu, perlahan Anya membuka mata, sedikit pening karena kepala sampingnya terbentur jendela bus akibat jalan berbatu yang tidak rata. Lima detik kemudian kesadarannya terkumpul penuh setelah tidur tiga jam perjalanan. Kerusuhan itu berasal dari teman seperjalanannya.
Tanpa terasa bibirnya membentuk satu lengkung, matanya berbinar dan jari tangannya menempel pada kaca jendela bus yang sudah mulai memperlambat lajunya, memasuki kawasan villa. Anya selalu jatuh cinta pada pegunungan dengan pohon-pohon menjulang dan perkebunannya. Ia tak menyangka bahwa ia bisa kembali ke sini lagi. Sewaktu TK, keluarganya yang dulu tinggal di Surabaya pernah mengajaknya berlibur di sini. Tapi itu sudah dulu sekali dan ia sudah lupa bagaimana keadaannya. Yang ia ingat, ia tak mau turut ayahnya menaiki kuda. " Hei, Nya! Dicariin dari tadi ternyata masih di dalam bus kamu? Ayo turun!", seru Karin, salah seorang senior di kantornya, di salah satu penerbitan ternama di Yogyakarta.
" Eh? Hehe, iya mbak. Udah nyampe ya?", Anya melihat keluar jendela, ternyata semua orang sudah berkumpul di luar dan Anya baru sadar sejak tadi orang-orang memperhatikannya melamun.
" Dasar Anya. Udah nyampe dari tadi kali, Nya.", jawab Karin. Mereka pun membaur dengan yang lain di halaman villa.
Setelah mendapat penjelasan dari Fadli, pacar Karin (merangkap ketua rombongan dan Pemred), dan kunci kamar masing-masing, halaman villa yang berumput itu mendadak lengang, karena semua ingin cepat-cepat merebah setelah perjalanan melelahkan dari Yogyakarta sejak subuh. Lain cerita dengan Anya, ia begitu bersemangat melempar ranselnya ke atas bed kamar dan bergegas keluar dengan tas kecilnya, meninggalkan Karin yang geleng-geleng kepala melihat tingkah Anya. Sesampainya di halaman, ia merentangkan tangan dan menutup mata. Menghirup udara gunung sedalam ia mampu, lalu menghembuskannya, dan melangkah ke jalanan.


Pandangannya menerawang menembus pepohonan tinggi berlatar langit jingga di pinggir jalan sebelah kirinya. Tak lama, ia memperhatikan perkebunan sayuran di sebrang jalan. Sampai di simpang tiga, ia membelok ke kanan, dan ia temukan deretan Jeep yang rapi di pinggir jalan. Dengan mata berbinar ia perhatikan satu per satu jeep-jeep itu, sambil memikirkan, jeep yang mana yang akan ia tumpangi esok.


Tiba-tiba seekor anjing coklat besar muncul di balik jeep berikutnya, menjulurkan lidah. Langkah Anya berhenti mendadak dan mulutnya tidak mengatup rapat. Anya terkesiap sejenak sebelum melesat secepat ia bisa. Ternyata ada gunanya juga ikut team softball di SMAnya dulu.
" Anjing sialan!", umpatnya dalam hati, masih sambil berlari, menuju jalan tanah berbatu di antara kebun sayur. Setelah berlari tiga puluh detik, ia menoleh ke belakang memastikan anjing itu tidak mengejarnya. Ia membungkukkan badan untuk mengatur nafasnya kembali. Saat menoleh ke depan lagi, Anya kembali dikejutkan oleh sesosok besar yang juga ditakutinya. Kuda.
 Seorang pemuda memakai ikat kepala, celana jeans yang sudah belel di sana sini, dan jaket jeans yang menyembunyikan tubuhnya yang sedikit kurus. Rambutnya yang sepanjang leher, ikal bergelombang, berebutan menyembul dari ikat kepalanya bagian bawah. Wajah manisnya tersamar oleh polesan debu di wajahnya.
" Nuwun sewu, maaf mbak, kuda saya ndak nggigit kok.", suaranya yang renyah menyadarkan Anya yang sempat terbengong.
Anya menggaruk belakang kepalanya yang tidak sedikitpun gatal, lalu sibuk merapikan jaket yang sebenarnya sudah rapi, dan sambil menggaruk kecil di atas telinga ia menjawab " Ooh.. I, iya. Ndak papa kok. Tadi kaget aja. He.. Maaf, mas. Duh, jadi ndak enak ini.", Anya tersenyum kecut, menelan ludah. Membenamkan jemarinya dalam saku jaket.
" Ndak papa kok mbak. Mbak takut kuda, ya? Kudaku baik kok, mbak.", terangnya sambil mengelus rambut samping kudanya, dan disahut mengendus manja oleh si kuda.
" Hehe. Iya, sedikit."
Kemudian laki-laki itu pun pamit melanjutkan jalannya.
" Hei, mas!", seru Anya. Ketika lelaki itu menoleh, Anya melambai kemudian mendekati. " Maaf, kayaknya saya nyasar deh.", aku Anya, malu.
" Loh? Memangnya mbak mau kemana?", tanya lelaki itu.
" Ke villa. Tadi saya jalan-jalan. Terus ada anjing gedhe banget, terus saya lari deh."
" Villa mana? Di sini banyak villa mbak.", jawab lelaki seraya turun dari kudanya.
Anya mengorek-ngorek tas kecilnya, lalu ia temukan secarik kertas, lantas menyebutkan nama villa tersebut. " Ooh.. Dekat itu mbak, mari saya antar. Apa mau naik kuda?", tawar lelaki.
Anya berjalan di belakang lelaki dan kudanya. Poninya yang hampir menutup mata itu berarakan tertiup angin sore pegunungan. Sesekali terbentuk kerutan di dahinya. Bagaimana kalau ia ditipu? Dia kan tidak kenal dengan lelaki ini. Tidak kenal daerah sini, tidak membawa handphone pula.
" Ah.. Dia orang baik sih kayaknya. Manis lagi, hihi.", batin Anya yang memperhatikan pundak lelaki yang sejajar dengan matanya itu, sambil berusaha menahan senyum. Beruntung laki-laki di depannya tidak menoleh.
" Kalau boleh tau, mbak dari mana?", tanya laki-laki, memecah hening di antara mereka. Sedikit mengagetkan Anya yang sedang berpikir di belakangnya.
" Eh? Dari Jogja. Baru sekitar sejam lalu nyampe.", jawab Anya, yang hanya di sahut dengan 'ooh' pendek dari laki-laki. " Nama kamu siapa? Itu kuda kamu sendiri?", lanjut Anya.
" Iya ini kuda saya, mbak. Nama saya Hasan.. Nah, sudah sampai nih, mbak.",kata Hasan, sambil menoleh ke Anya.
" Iya, makasih ya, Hasan. Ndak usah panggil mbak lah, panggil Anya aja.", balas Anya, mengulurkan tangan dan tersenyum. Satu simpul yang berhasil membuat deg-degan si Hasan. Tangan Hasan yang tiba-tiba dingin menyahut uluran tangan Anya, sambil balas tersenyum, lalu pamit pulang. Siluet laki-laki penunggang kuda itu menghilang di tikungan.
" Weleh-weleeh.. Si Anya udah dapet cowok aja nih!", suara Fadli di belakang Anya membuat senyum di bibir Anya hilang seketika. " Apa sih Mas Fadli? Sok tau.", jawab Anya, membenamkan jemarinya lebih dalam pada saku sweaternya.
" Tapi, Nya, lumayan sih, yah meskipun lebih cakep aku.", kata Fadli sambil mengusap dagunya sendiri, melirik jail ke arah Anya.
" Ih, pede banget Mas Fadli. Aku bilangin Mbak Karin, loh!", Anya berlalu, menyembunyikan rona merah pada pipinya.
  ***
Ketika bintang-bintang masih menghiasi langit, orang-orang sudah sibuk mengepack barangnya masing-masing. Tak terkecuali Anya dan teman sekamarnya, Karin, yang baru saja berhasil membangunkan Anya dari mimpi berkuda dengan pemuda Bromo.
" Kenapa juga mesti malem-malem gini. Jam segini nih biasanya ibukku lagi tahajud, mbak. Lagian, mana kelihatan pemandangannya yang bagus itu.", protes Anya, sambil memperhatikan jarum pendek arlojinya yang menunjuk garis kecil di antara angka dua dan tiga. Lalu menyibukkan diri memilih barang apa saja yang akan ia bawa mendaki.
" Wes lah. Protes wae kowe ki. Ntar tak jodohin sama cowok berkuda, girang deh kamu.", goda Karin, membuat Anya menghentikan tangannya yang semula sibuk menjejalkan barang ke ranselnya. Matanya menatap heran ke Karin.
" Ndak usah pura-pura oon gitu kamu.", bisik Karin, lalu melarikan diri sambil menyangklong ranselnya keluar kamar.
" Hiiiih!! Pasti ulahnya Mas Fadli!",  sepeninggal Karin, Anya lebih cepat menata barangnya, sempat terlintas akankah ia bertemu dengan Hasan lagi. Ah.. Dunia tak sesempit itu, pikir Anya. Lalu mengunci pintu kamarnya. Anya melangkah ke halaman villa, bergabung dengan Karin, Fadli, dan lainnya. Udara gunung yang begitu menusuk tulang membuat Anya merapatkan sweaternya. Giginya gemeletuk sesekali. Jari-jarinya terbungkus sarung tangan. Kedua kakinya tak berhenti menghentak tanah secara bergantian, walau sebenarnya itu sia-sia untuk menghilangkan dinginnya Pegunungan Bromo dari tubuhnya. Dadanya berdebar tak karuan. "Pengalaman macam apa ini, mendaki gunung dalam gulita", katanya pada Fadli, yang hanya membalas dengan seuntai senyum. Tapi ia tak menampik perasaan tak sabarnya untuk segera memulai hiking.
Tiba-tiba cahaya menyilaukan mata menyerbu halaman villa. Empat Jeep yang telah di pesan Fadli kemarin sore tiba. Rombongan Fadli yang telah berkelompok kecil segera memilih jeep dan menata diri di dalamnya. Anya tersenyum lebar, semakin penasaran akan bagaimana perjalanan ini. Tiba-tiba sesuatu menyentuh kepalanya. Tangannya mengambil sesuatu itu, sebuah topi tudung kepala. Anya mengangkat sebelah alisnya.
" Biar ndak kedinginan, dipakai aja.", Anya menoleh ke samping kiri,  berusaha mengenali sosok itu dalam gelap. Tiga detik kemudian matanya membelalak, senyumnya sumringah.
" Hasan?! Kok kamu...", kata-katanya tertahan, setengah takut ketahuan betapa girang warna suaranya.
" Ayo naik!", seru Hasan lalu melompat ke dalam jeep diikuti Anya, yang sudah memakai penutup kepala pemberian Hasan.
Satu jam perjalanan jeep dari villa untuk sampai di gurun pasir Bromo. Tak ada yang bisa mata Anya tangkap selain sorot lampu mobil-mobil jeep dan gemerlap bintang. Untunglah, bulan sedang fase bulat penuh sekarang, setidaknya cukup untuk mengenali siluet laki-laki di sebelahnya, yang senyumnya menghangatkan, pikir Anya.
Rombongan Anya siap mendaki dalam gelap, dipandu oleh lima orang dari villa, termasuk Hasan. Dari cerita Hasan dalam Jeep tadi, barulah Anya tau, Hasan adalah anak dari pemilik villa tempat Anya bermalam. Hasan memandu Anya, Karin, Fadli, dan dua rekan lagi.
Diam-diam kekaguman Anya pada Hasan meningkat. Karin yang sedari tadi memperhatikan senyum Anya kian mengembang setiap Hasan berbicara nyeletuk, "Mantab tuh, Nya. Anak juragan loh. Kamu pasti tambah kesengsem kan? Hayoo..",bisik Karin di tengah-tengah pendakian, sambil merangkul Anya.
" Aduh, Mbak Karin. Bukan karena dia anak juragan.", jawab Anya sambil berbisik pula. Sesaat matanya menjurus ke depan, memastikan orang yang dimaksud tak kan mendengar. "Tapi cobak deh mbak perhatikan. Penampilannya ndak kayak anak juragan ta? Sederhana sekali ta? Aku aja ndak nyangka loh mbak.", curhat Anya. Karin dan Fadli senyum-senyum mendengar celoteh Anya yang mereka sangka tidak sengaja itu.
" Aduh, Nya. Kalo itu sih aku ndak tau, ya. Soalnya aku ndak pernah merhatikan dia tuh.", balas Karin.
Satu tangan lagi merangkul Anya, ialah Fadli, " Kamu suka ta, Nya? Ngaku sajalah.", yang disahut tawa kecil dari keduanya, Fadli dan Karin.
Anya melirik bergantian pada dua orang di kanan kirinya. Lantas memperhatikan punggung yang sedikit terang karena senter, sekitar lima meter di depannya. Apa benar yang dikatakan Mas Fadli? Kalau memang iya, kenapa cepat sekali? Aku saja baru ketemu kemarin sore ta? Batin Anya.
" Nya, diliatin tuh.", seru Fadli seraya menepuk-nepuk pundak Anya, membuyarkan pikiran Anya.
" Iya, Nya. Wuaduh, Nyaaa..", timpal Karin.
Benar saja, Anya menangkap sosok itu melihatnya. Tapi...
" Ah. Itu emang lihat belakang. Takutnya anak buahnya yang tiga ini kehilangan jejaknya, gitu mbak, mas. Abisnya, ceriwis banget!", jawab Anya sambil melepaskan diri dari rangkulan dua seniornya, dan berjalan sedikit cepat. "Bisa meledak kepalaku kalau dekat-dekat mereka. Di-Ge-er-in terus.", pikir Anya.
" Takut kehilangan kita? Takut kehilangan kamu, kali, Nya! Hahaha!", teriak Fadli di belakang, disambut gelak Karin. Kalau saja ini siang hari, akan tampak pipi Anya berubah jadi merah jambu. Semerah jambu hatinya.
" Anya.", seru Hasan, setelah satu jam rombongan berjalan. Rombongan berhenti sejenak untuk istirahat. Ada yang sekedar minum air putih, ada juga yang membeli mi instan pada pedagang, atau hanya duduk untuk menata nafas yang mulai disesaki aroma belerang. Ia melambai pada Anya. Yang dipanggil tersenyum dan mendekat. " Sini naik ke yang lebih tinggi. Aku bantu.", tangan Hasan mengulur dan disambut dengan senang hati oleh Anya.
" Setelah melihat yang satu ini, aku jamin lelahmu akan hilang. Mungkin lima menit lagi.", kata Hasan. Anya hanya tersenyum.
" Sekarang saja, disebelahmu, lelahku sudah hilang kok, San.", begitu kata hati Anya.
" Tunggu sebentar, ya.", tanpa menunggu jawaban Anya, Hasan turun dari tempat semula. Dua menit kemudian membawa mi rebus dalam gelas dua porsi.
" Ini, Nya. Biar hangat. Masih panas. Sambil nunggu sunrise, sebentar lagi kok.", kata Hasan sambil menyodorkan satu untuk Anya, dan tersenyum. Senyum yang mendebarkan hati Anya.
" Terimakasih, Hasan.", Hanya kata itu yang mampu terucap dari Anya, plus senyum yang merekah dari hati. Senyum yang menelisik hati Hasan pula.
***
Teriknya siang ini tak membuat orang-orang mengeluh, sebab nyaman dan menghangatkan tubuh. Seperti Anya contohnya, yang baru saja mandi dan mencuci rambut yang penuh debu pasir Bromo. Sekembalinya dari Gunung Bromo, Rombongan Anya sampai di villa pukul 10:00. Setelah menjemur handuk, ia tak langsung kembali ke kamarnya. Berdiri di halaman villa, matanya menerawang perbukitan yang penuh pohon tinggi, menyembunyikan Gunung Bromo dari pandangannya. Puncak Bromo selalu berhasil membuat Anya jatuh cinta, walaupun tak setinggi gunung lainnya. Bagi Anya, Bromo itu menarik, semua tentang Bromo adalah unik, termasuk Hasan.
Selepas matahari beranjak dari atas ubun-ubun nanti, Mas Fadli mengajak kembali ke Yogyakarta. Kini villa tampak sunyi, bagaimana tidak, pendakian tadi pagi sangat melelahkan. Sehingga semua orang pasti sudah KO di kamar masing-masing. Anya pun kembali ke kamarnya setelah puas menghangatkan tubuh. Didapatinya Karin yang sudah pulas ke alam mimpi. Anya duduk di sebelah Karin, merogoh sesuatu dalam ranselnya. Mengamati gambar demi gambar di kameranya. Sesekali menyunggingkan senyum lebih lama saat sampai pada potretnya, bersama Hasan.
" Kapan ya, San, kita bisa ketemu lagi. Jogja Probolinggo itu juauh banget e.. Aku kok ya ndak minta nomer hape atau emailmu gitu. Duh.. Bodo aku iki.. Hmm.", gumamnya pada diri sendiri. Dimasukkannya kembali benda itu dalam ranselnya, kemudian Anya merebahkan diri, dan memutuskan untuk memejam sejenak.
***
" Ayo, ayo! Dicek lagi ya temen-temen! Mungkin masih ada barang yang tertinggal di kamar. Cek cek cek!", seru Fadli di halaman villa. Teman-temannya banyak yang hilir mudik keluar masuk kamar mengecek barang bawaan. Sebuah bus Pariwisata siap mengantar rombongan itu kembali ke Yogyakarta.
" Baiklah, semua sudah berkumpul? Silahkan temen-temen naik bus dulu.", kata Fadli. Ia sendiri akan berpamitan pada empunya villa sebelum masuk bus.
Anya sudah duduk dipinggir jendela, bersama ranselnya. Ia tampak melamunkan sesuatu. Matanya memandang kosong pada villa yang akan ditinggalkannya itu. Tangannya tak henti memainkan tali ranselnya. Setelah Fadli melompat ke dalam bus, bus mulai bergerak perlahan, meninggalkan halaman villa. Anya menghembuskan napas panjang sambil menyandar kursi. " Selamat tinggal Probolinggo. Selamat tinggal Bromo. Selamat tinggal... Hasan."
" Maaf mbak, di sini kosong? Boleh saya duduk di sini?", kata suara di sebelahnya.
" Iya kosong mas. Duduk aja.", jawab Anya tak antusias sama sekali, tanpa menoleh pada asal suara. Detik berikutnya, cepat-cepat ia melihat asal suara yang tak asing baginya itu.
" HASAN?? Lah.. Ini.. Beneran kamu?!"
Laki-laki itu tersenyum dan meletakkan ransel Anya di loker tas.
" Saya numpang ke Jogja, mencalonkan diri sebagai Designer Layout, asisten Mbak Karin di penerbitan.", jawabnya sambil tersenyum, satu sebab sederhana yang membuat Anya jatuh cinta, pada orang yang sederhana pula.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar