Kamis, 26 Februari 2015

Jika Melepaskan adalah Jalan

Aku memilih diam ketika kau memilih untuk meninggalkan, sebab apa lagi yang aku harapkan, ketika kau sudah enggan untuk memperjuangkan? Entah sejak kapan, jalan kita mulai tak beraturan. Oh, mungkin sejak senja itu, seja dimana ada hati yang dikecewakan, sebab dirundung pertanyaan-pertanyaan tak bertuan. Belum lagi disemarakkan rasa kangen yang tak berkesudahan.
Mungkin aku ilalang, memenuhi hatimu yang memang sudah gersang. Lalu tumbuh memenuhi jalan sehingga merusak pemandangan. Maafkan karena rinduku memang tumbuh liar, tak ada yang menanam. Semakin tinggi ketika dipupuk jarak dan disiram hujan.
Satu hal yang perlu diluruskan adalah

Senin, 23 Februari 2015

Aku Wanita Malam

00:30.
Sudah dini hari. Bulan paruh masih samar di balik iring-iringan awan. Aroma khas tanah yang baru saja diguyur hujan menyeruak lewat jendela yang baru saja kubuka. Suara tetes sisa hujan pada genteng seng menjadi satu-satunya lantunan berirama yang mengisi. Tak ada jangkerik, tak ada serangga, bahkan katak sawah. Sunyi. Sesunyi ruang hati milik seorang perempuan. Aku.
Segalanya terasa lambat, ketika aku memilih berdamai dengan suatu kecewa. Segalanya merayap,  ketika aku telah memilih mengukir senyum, ketimbang mengutarakan apa sebab hati murung. Tapi aku telah memilih. Dan akan tetap memilih.
Selanjutnya aku memilih memaafkan, ketimbang mengadu padamu tentang hal yang menyakitkan. Atau tingkahmu yang terkadang menyesakkan, dan beberapa candamu yang terkadang menyebalkan. Aku memilih diam, dan tersenyum seakan kita punya kesamaan pikiran, walau terkadang kau tak pernah tau apa-apa yang aku sembunyikan.
Menit berikutnya, angin malam mulai menyapa, memainkan apapun yang bisa ia mainkan, diantaranya rambutku, dan selambu jendela. Udara dini hari menyapu leher membuat bulukuduk merinding. Aku menutup jendela. Merebahkan diri pada kasur kapuk untuk satu orang ini. Aku memandangi langit-langit kamar berukuran 3,5 kali 2,5 meter ini. Di sana, kutemukan memori-memori lama, yang bercerita kebersamaan kita.
Lalu kualihkan pandanganku pada sebuah meja, yang menopang sebuah pigura bertuliskan "best memory" pada sisi bawahnya itu, memajang foto kita berdua, 8 bulan lalu. Sebelum awal dari persahabatan  kita dengan jarak. Ah, betapa rindu datangnya tiba-tiba, pun saat dirundung kecewa.
Entah mengapa aku gemar sekali menyembunyikan kecewa dan sesal darimu. Walau terkadang kepekaanmu melewati batas sehingga aku kalah dan mengatakannya, aku menyerah. Tapi itu hanya beberapa kali saja. Selebihnya, aku nikmati sendiri rangkaian perasaan tak menyenangkan itu.
Lihat?
Perempuan sejatinya memang seperti itu. Ia mampu menekan kecewa, marah dan isak dalam-dalam, hanya karena satu hal. Cinta. Berbahagialah.
Memilih diam dari pada nantinya kehilangan. Memilih memberi maaf ketimbang mengungkit-ngungkit orang punya khilaf. Tetapi, laki-laki jarang mengakui dan menyadarinya. Karena laki-laki tak pernah benar-benar tau.
Aku wanita malam, yang gemar mendekor langit menjadi gemerlap bintang harapan. Lalu mereka berjatuhan dan tak menyisakan kenangan.
Aku beranjak dari kasur. Mengambil bungkusan dan menuangkannya pada  cangkir.
Beberapa detik berikutnya, sudah terdengar dentingan perlahan.
Lalu asap mengepul diiringi aroma khas pada pagi hari.